Kecil Kemungkinan Prabowo Pilih Yusril, Ini Alasannya

Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra dinilai memiliki peluang paling kecil untuk dipilih Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto apabila mempertimbangkan hubungan kedekatan bakal calon dengan Prabowo.

Jika dibandingkan dengan dua tokoh lainnya, yakni pengusaha Sandiaga Uno dan mantan Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Syamsudin, Yusril dinilai paling tidak dekat dengan Prabowo.

Apalagi, Yusril juga bukan kader Gerindra. “Sulit menerima logika bahwa partai yang cukup besar seperti Gerindra harus melepas tiket gratis kepada non-kader yang itu akan merusak proses kaderisasi juga,” ujar Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya kepada Kompas.com, Rabu (27/4/2016).

Adapun Yusril, Sandiaga, dan Sjafrie, adalah tiga nama yang disetorkan DPD DKI Jakarta Gerindra untuk dipilih Prabowo sebagai bakal calon gubernur, yang akan diusung Gerindra pada Pilkada DKI 2017.

Yunarto mengatakan di antara ketiga nama tersebut, Sjafrie merupakan bakal calon yang paling dekat dengan Prabowo.

Menurut Yunarto, Partai Gerindra merupakan partai yang memiliki komando sentral di tangan ketua umumnya, yaitu Prabowo.

Dengan demikian, kata dia, faktor kedekatan dengan ketua umum menjadi penting.

“Keunggulan Pak Sjafrie adalah kedekatan secara chemistry dengan Prabowo. Kita tahu sepak terjang Pak Sjafrie dengan Prabowo sama-sama tentara,” ujar Yunarto.

Sjafrie memang bukan kader partai. Namun, kedekatan personalnya dengan Prabowo bisa menguntungkan.

Jika Sjafrie masuk menjadi kader Partai Gerindra, Yunarto mengatakan, peluang Sjafrie akan lebih besar lagi.

Sementara itu, Sandiaga Uno, adalah kader Parta Gerindra yang sempat disanjung Prabowo saat acara ulang tahun Partai Gerindra beberapa waktu lalu.

Namun, menurut Yunarto, kedekatan Prabowo dengan Sandiaga baru sebatas hubungan antar-kader saja, bukan kedekatan personal.

“Sama Sandiaga bisa dikatakan ada kedekatan karena sesama Gerindra. Tetapi dengan Sjafrie kan kedekatan personal.

Punya sejarah sama-sama angkatan 1974, jadi tentara. Itu jauh lebih dalam kedekatannya,” ujar Yunarto.

Sumber : Tribbun Jambi

Ahok Bakal Bernasib seperti Foke?

Pengamat politik dari Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya tidak setuju opini itu

Pengamat politik dari Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya tidak sependapat dengan opini yang menyebutkan nasib Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan sama seperti Fauzi Bowo (Foke) di pilkada tahun 2017 nanti.

“Ada orang mengatakan bahwa pada tahun 2012 elektabilitas Foke paling tinggi, tapi jungkir balik saat pemilihan. Mereka bilang kejadian itu akan sama dengan Ahok. Saya katakan, memang masih mungkin Ahok bisa dikalahkan. Tapi menyamakan Ahok dengan Foke saya tidak setuju. Yang menjadi faktor utama bagi incumbent adalah tingkat kepuasan publik bukan elektabilitas, dan itu berbeda antara Ahok dan Foke,” kata Yunarto di kantor Charta Politika Indonesia, Jalan Cisanggiri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (30/3/2016).

Yunarto mengatakan dari hasil survei, kepuasan masyarakat terhadap kinerja Ahok jauh lebih tinggi dibandingkan saat Foke persiapan maju lagi di pilkada 2012. Jelang pilkada tahun itu, tingkat kepuasan masyarakat hanya 42 persen sampai 47 persen.

“Kalau tingkat kepuasan publik di atas 50-60 persen, biasanya peluang menangnya tinggi, tapi kalau di bawah 50 persen, peluang kalahnya sangat besar. Dan kepuasan terhadap kinerja Ahok mencapai 61 persen, sementara yang sangat puas adalah 21,8 persen responden,” kata Yunarto.

Menurut Yunarto figur Ahok merupakan magnet bagi publik untuk mendukungnya menjadi gubernur Jakarta periode 2017-2022.

“Pilkada di DKI ini lebih cenderung melihat figur, karena tingkat rasionalitas penduduknya tinggi. Dan itu juga tentu didukung oleh kepuasan terhadap kinerja. Kita lihat saja, hanya ada 12,5 persen saja yang tidak puas dengan kinerja Ahok dan Wakilnya Djarot,” kata Yunarto.

Sumber : Suara.com

Djarot Masih Diminati Warga Jakarta Jadi Wakil Gubernur, Haji Lulung Diurutan Ketiga

Charta Politika Indonesia menyebutkan ada beberapa nama yang potensial untuk menjadi calon Wakil Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2017 mendatang.

Dari sejumlah nama, berdasarkan survey yang dilakukan Charta Politika, Wakil Gubernur DKI Jakarta pertahana Djarot Saiful Hidayat masih paling tinggi dipilih responden.

“Mungkin karena sosok pertahana, Djarot masih menjadi wakil gubernur yang paling banyak dipilih. 11,8 persen responden memilihnya,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunanto Wijaya dalam rilis “Siapa Lawan Ahok” di Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (30/3/2016).

Selanjutnya, mantan Ketua KPK, Abraham Samad dan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Abraham Lunggana, juga menjadi nama yang menyusul tingkat keterpilihan Djarot.

“10 persen responden pilih Abraham Samad jadi wakil gubernur. Selanjutnya, Haji Lulung yang dipilih 7,5 persen responden,” katanya.

Sedangkan, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Heru Budiartono yang menjadi bakal calon wakil gubernur bersama Basuki Tjahaja Purnama melalui jalur perseorangan, tingkat elektabilitasnya sama dengan Abraham Lunggana.

“Pak Heru punya elektabilitas sebagai wakil gubernur yang sama dengan Haji Lulung yaitu 7,5 persen,” kata Yunanto.

Namun, pada survey yang digelar sejak 15 Maret hingga 20 Maret 2016 dan mengambil sampel 400 responden dari seluruh kota administrasi di Jakarta serta Kepulauan Seribu, 37 persen responden masih belum menentukan pilihan calon wakil gubernur.

Penulis: Valdy Arief
Editor: Adi Suhendi
Sumber : Tribunnews

Deparpolisasi Saat Ini Sudah Terjadi di Indonesia

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, bahwa saat ini di Indonesia telah terjadi deparpolisasi. Karena menurutnya, yang disebut deparpolisasi ialah ketika warga tidak lagi merasa dekat dengan Partai Politik tertentu.

“Gejala psikologis ketika warga merasa jauh dengan partainya dan tidak mau diidentifikasi dengan Parpol tertentu. Rasa kedekatan konstituen dengan partai tertentu ini telah terjadi deparpolisasi,” ujar Yunarto pada dialog kenegaraan, di komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (23/3).

Yunarto juga mengatakan, bahwa saat ini kepercayaan publik terhadap Parpol semakin rendah. Bahkan, lanjutnya, dari hasil survey yang ada, masyarakat lebih menginginkan orang yang maju dari jalur independen dibandingkan yang diusung Parpol.

“Tingkat kepercayaan publik semakin rendah terhadap Parpol, hampir semua survey menempatkan DPR dan Parpol di posisi terendah.  Masyarakat lebih menginginkan calon dari jalur independen dari hasil survey. Bagaimana ini, karena Parpol sebagai badan dan DPR sebagai rumah dari Parpol justru paling rendah tingkat kepercayaannya di masyarakat,” jelasnya.

Menurut Yunarto, deparpolisasi yang terjadi juga karena Parpol tidak dapat menjalankan fungsinya secara baik. Sebabnya antara lain, rekruitmen politik yang dilakukan Parpol juga masih melibatkan mahar politik.

“Mana mungkin bicara rekruitmen politik ketika mahar masih ada. Ketika bicara deparpolisasi mengamcam demokrasi, ya aktornya partai itu sendiri,” tegasnya.

Lebih jauh Yunarto juga mengatakan, calon independen tidak ada hubungannya dengan deparpolisasi. Menurutnya, dalam sistem Presidensial memang diperbolehkan calon pejabat berasal dari jalur independen.

“Dalam sistem presidensial harusnya diperbolehkan calon independen. Berbeda dengan sistem Parlementer yang semuanya harus bersumber dari Parlemen,” tandasnya

Sumber : beritaempat.com

Zumi Zola Unggul dalam Hitung Cepat Charta Politika

Sebanyak 264 daerah (dari 269 daerah yang sebelumnya dijadwalkan menggelar Pilkada serentak) sudah melaksanakan Pilkada secara serentak pada 9 Desember 2015. Jutaan masyarakat Indonesia berpartisipasi dalam Pilkada serentak yang meliputi 8 Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub), 222 Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati (Pilbup), serta 34 Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota tersebut (Pilwakot). Diantara 9 provinsi yang menggelar Pilkada, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi.

Dalam Pilkada kali ini, Charta Politika berpartisipasi dengan melakukan perhitungan cepat (quick count) di Pemilihan Gubernur Jambi periode 2016-2021. Ada dua pasangan calon yang maju dalam Pilgub Jambi yaitu pasangan Hasan Basri Agus – Edi Purwanto yang mendapatkan nomor urut 1 (satu) dan pasangan Zumi Zola – Fachrori Umar yang mendapatkan nomor urut 2 (dua).

Pemungutan suara Pilgub Jambi dilakukan di 7.067 TPS (tempat pemungutan suara) dengan 2.445.305 DPT (daftar pemilih tetap) yang sudah ditetapkan KPU. Dari 7.067 TPS tersebut, Charta Politika memilih 300 TPS sampling yang dipilih secara acak dengan metode Stratified Cluster Sampling dan margin of error (moe +/-) sekitar 2 persen serta tingkat kepercayaan 99%.

Di setiap TPS sampling, ada Charta Politika menugaskan satu kontributor untuk mencatat hasil pemilihan dan mengirimkannya ke data center. Satu kontributor hanya ditugaskan di satu TPS yang sudah ditetapkan untuk mereka. Tidak lama setelah waktu penghitungan suara yang serentak dilakukan pada 13.00 WIB, data hasil penghitungan suara di 300 TPS sampel masuk ke data center. Dari 100% data yang masuk, diketahui bahwa partisipasi pemulih di Pilgub Jambi sebesar 65,7%.

Parpol Jadi Alat Tokoh Tertentu, Tokoh Muda Diperlukan untuk Bersaing

Demokratisasi diduga belum sepenuhnya berjalan di internal partai politik. Hal ini membuat kaderisasi di pucuk utama pimpinan partai politik berjalan lamban sehingga membuat sejumlah partai dipimpin tokoh senior.

“Demokratisasi hanya terjadi di level pemilu, tetapi tidak di level kepartaian. Partai politik hanya didirikan untuk menjadi mesin politik tokoh tertentu guna memenuhi ambisi politiknya,” kata Yunarto Wijaya dari Charta Politika, Minggu (17/5).

Berdasarkan catatan Kompas, dari 12 pimpinan partai yang mendapat kursi di DPR, delapan berusia di atas 60 tahun. Sebagian dari ketua umum partai itu juga telah berkali-kali memimpin partainya.

592060218fa04b14ab36a070e8bc3c08

Menurut Yunarto, kepemilikan saham mayoritas oleh tokoh tertentu terhadap suatu partai menghambat kader lain maju ke level pucuk pimpinan. Kondisi ini akhirnya akan mengganggu perekrutan kader di partai itu. “Sampai kapan ini terjadi? Partai-partai model ini akan berevolusi dengan sendirinya ketika usia politik dari pemimpin itu sudah habis atau ketika UU kepartaian membatasi masa jabatan seseorang/keluarga untuk memegang level pucuk pimpinan,” katanya.

Secara terpisah, Ikrar Nusa Bhakti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menuturkan, partai yang dikuasai oleh golongan tua akan berpengaruh terhadap daya tarik partai bagi pemilih yang didominasi golongan muda. Semakin tua pemimpin partai, akan semakin jauh dari konstituennya. Golongan tua juga cenderung konservatif dan tidak produktif untuk melahirkan inovasi.

Partai Demokrat

Terkait dengan terpilihnya kembali Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam kongres partai itu yang digelar pekan lalu, Ikrar berharap, Partai Demokrat perlu lebih memberdayakan kader muda.

“Tempatkan kader-kader muda sebagai eksekutif partai dan biarkan mereka berkembang. Jika Partai Demokrat terus bergantung pada SBY, akan sulit bersaing pada pilkada atau pemilu mendatang,” ucap Ikrar.

Ikrar mencontohkan keberhasilan PDI Perjuangan yang berhasil memenangi Pemilu 2014 dengan melahirkan kader-kader muda di daerah. Sekalipun Megawati sudah memimpin PDI Perjuangan sejak partai itu masih bernama PDI, partai itu juga mampu melahirkan kader potensial, seperti Presiden Joko Widodo, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Kinerja mereka di daerah dianggap sebagai salah satu faktor pendongkrak suara PDI Perjuangan.

Pengamat Populi Center, Nico Harjanto, mengatakan, terpilihnya kembali SBY sebagai Ketua Umum Demokrat menunjukkan minimnya kader muda yang bisa diterima di internal partai itu. Di sisi lain, Demokrat masih sangat membutuhkan SBY.

Dalam kongres Partai Demokrat tahun 2010, Anas Urbaningrum yang saat itu berumur 41 tahun berhasil memenangi pemilihan sebagai ketua umum. Namun, Anas lalu menyatakan berhenti karena menjadi tersangka kasus korupsi. Dalam kongres 2015, Marzuki Alie dan Gede Pasek Suardika menyatakan keinginannya menjadi ketua umum. Namun, mereka batal maju dalam pencalonan. (FAJ/B07)/KOMPAS cetak

Rilis Survei Menuju Pilkada DKI Jakarta 2017

Kami mengundang saudara/saudari:

Rilis Survei Menuju Pilkada DKI Jakarta 2017 dengan judul “Siapa Berani Lawan Ahok”

Perlu kami sampaikan, acara tersebut akan dilaksanakan pada :
Hari : Rabu, 30 Maret 2016
Waktu : Pukul 12.00-15.00 WIB (diawali dengan makan siang)
Tempat : Charta Politika Indonesia, Jl. Cisanggiri 3 No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

Demikian untuk menjadi maklum. Atas kerja sama dan kehadirannya kami ucapkan terima kasih.

Salam,
Charta Politika Indonesia

 

“Peluru Kosong Nazaruddin: Pengaruhnya Terhadap Masa Depan KPK dan Partai Demokrat”

Awal bulan Mei 2011 masyarakat dikejutkan oleh kasus suap yang menjerat Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin. Kasus Nazaruddin menjadi kontroversial karena melarikan diri dan melempar tudingan terhadap petinggi Partai Demokrat dan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pernyataan-pernyataan Nazaruddin kemudian menjadi berita terpopuler dan menghiasi pemberitaan media massa dalam kurun waktu Mei sampai Agustus 2011. Untuk itulah Charta Politika Indonesia merasa perlu melakukan analisis isi media (content analysis) untuk memetakan dan mengulas pemberitan mengenai Nazaruddin. Melalui pendekatan ini pula dapat diketahui bagaimana model komunikasi dan psikologi politik Nazaruddin.