Melucuti Demokrasi lewat Pilkada
Dalam konteks Indonesia, gagasan pemilihan tak langsung (baik pilkada maupun pemilihan presiden) menjadi agenda politik yang wajib diwaspadai.
Pemilihan umum tidak langsung, termasuk pemilihan kepala daerah, bukan hal baru. Bahkan, puluhan tahun pernah menjadi praktik politik di Tanah Air. Kehendak merestorasinya kini diapungkan dengan menyegarkan narasinya.
Selain mengungkit kembali maraknya praktik politik uang (money politics), Presiden Prabowo Subianto memberikan tekanan pada argumen baru, tetapi lama: biayanya mahal, tidak efisien.
Menurut dia, anggaran itu lebih baik untuk program-program kesejahteraan (Kompas, 12/12/2024). Berbeda dengan sepuluh tahun lalu, alasan biaya kini relatif berbunyi karena beresonansi dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sedang dalam tekanan.
Salah arah
Memperbandingkan pemanfaatan anggaran sekilas rasional, tetapi sekaligus mengaburkan konteks. Proses demokrasi seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung jelas butuh anggaran. Dalam konteks politik, anggaran itu dilihat sebagai investasi. Imbal balik investasi (return on investment/ ROI)-nya berupa legitimasi dan stabilitas politik.
Ketika anggaran itu dimaknai sebagai biaya, proses demokrasi dibaca dengan logika bisnis. Dalam banyak hal, pebisnis tidak bisa dan atau tidak mau mengerti politik punya indikator ROI yang berbeda.
Akibatnya, anggaran pemilihan umum (pemilu) langsung dengan mudah distigma sebagai pemborosan alias tidak efisien.
Dalam politik, efisiensi memiliki pengertian berbeda. Menurut telaahan Novak dan Retter (1997), pengertian efisiensi mengacu pada kapasitas kandidat terpilih untuk bertindak dan kinerja sosio-ekonominya.
Dalam konteks elektoral, efisiensi terjadi manakala pemilu bisa memfasilitasi pemilih untuk memilih kandidat yang mewakili kepentingan terbaiknya dan kemampuannya untuk menggantinya jika tidak berkinerja baik.
Dengan kata lain, isu pokoknya bukan pada besaran anggaran pemilu, melainkan bagaimana menciptakan sistem pemerintahan daerah yang berorientasi pada publik, mendapat pengawasan yang kuat dan berkinerja tinggi.
Terkait dengan efisiensi, Presiden Prabowo juga menyebut Malaysia, Singapura, dan India sebagai contoh negara yang efisien. Yang mungkin dilupakan, ketiga negara tersebut menganut sistem parlementer, di mana kepala pemerintahan dipilih melalui parlemen dan hal yang sama berlaku pada tingkatan wilayah yang lebih rendah.
Dalam kasus India, pemilihan kepala daerah langsung terjadi di tingkatan kota, sementara gubernur negara bagian ditunjuk oleh pemerintah pusat (Zulfajri dkk, 2019).
Sebagai penegas, orkestrasi merestorasi pemilihan kepala daerah tak langsung berlawanan dengan tren global.
Jika di Amerika Serikat (presidensial) dan Jepang (monarki-parlemeter) pilkada langsung sudah menjadi tradisi lama, sejumlah negara Eropa, seperti Slowakia, Italia, Jerman, Hongaria, Inggris, dan Polandia, baru mulai merintisnya sejak tahun 1980-an (Hambleton dan Sweeting, 2014).
Pergantian ke pilkada langsung tersebut merupakan bagian dari reformasi tata kelola pemerintahan lokal. Motivasinya bervariasi. Di satu sisi, memberikan ruang bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang dikehendakinya dan membangun keterhubungan antara kepala daerah dan pemilih (Vetter dan Kirsting, 2007; Reynaert dan Steyvers, 2007).
Di sisi lain, pilkada langsung menjadi instrumen untuk mendorong penguatan kepemimpinan lokal, mempermudah dan mengoherensikan kebijakan dan oleh karena itu bisa meningkatkan kinerja dan tata kelola pemerintahan lokal (Sweeting, 2017).
Pendalaman daulat elite
Dari uraian di atas, argumentasi mahal atau tidak efisien kurang meyakinkan sebagai motif aslinya. Sepuluh tahun lalu, di halaman ini penulis menilai bahwa upaya menerapkan kembali pilkada tak langsung sebagai upaya politik menggusur daulat rakyat dan mengembalikan daulat elite.
Bagi kaum elite, rakyat tidak kompeten, bodoh, dan mudah dimanipulasi (Wijaya, 2014). Penilaian itu kini tetap berlaku, tetapi kiranya dibutuhkan elaborasi lebih lanjut.
Dalam konteks Indonesia, gagasan pemilihan tak langsung (baik pilkada maupun pemilihan presiden) menjadi agenda politik yang wajib diwaspadai.
Pertama, pemilihan langsung menimbulkan situasi kepala daerah dan pemilih yang lebih tidak terikat dengan partai. Lugasnya, dominasi (elite) parpol tergerus (Fenwick dan Elcock, 2014; Copus, 2010).
Kedua, menilik kecenderungan otonomi daerah yang terus digerus selama beberapa tahun terakhir, ada tendensi restorasi pilkada tak langsung merupakan bagian untuk memperkuat sentralisasi dan konsentrasi kekuasaan.
Ketiga, ilusi kekuasaan dan risiko yang terukur. Pilkada tak langsung lebih mudah dikendalikan. Persisnya, diandaikan ada skenario penjatahan pemenang untuk tiap daerah. Ini pilihan yang menyenangkan: usaha minimal hasil maksimal.
Tambahannya, sirkulasi pemimpin (lokal) menjadi lebih steril. Para bohir juga bahagia: biaya yang lebih sedikit dengan risiko yang terukur. Terkait dengan itu, keempat, orkestrasi untuk restorasi pilkada tak langsung yang dilakukan secara terang-terangan sangat mungkin pula merupakan manifestasi kelelahan (berpura-pura) demokratis.
Pada titik ini, isunya tidak sekadar pergantian sistem pilkada, tetapi terutama sebagai bentuk pameran kekuasaan untuk menyatakan mereka tidak bisa dibendung, selain juga ekspresi ketidaksukaan pada demokrasi.
Agenda revitalisasi
Dalam konteks Indonesia, gagasan pemilihan tak langsung (baik pilkada maupun pemilihan presiden) menjadi agenda politik yang wajib diwaspadai.
Meski masih jauh dari otoritarianisme, norma standar demokrasi sudah banyak dan terus dilanggar. Karena itu, Indonesia sudah lebih dekat dengan apa yang dikategorikan Levitsky dan Way (2002) sebagai rezim otoritarian kompetitif. Proses politik setahun terakhir di Tanah Air kian menegaskan kecenderungan ini (Jaffrey dan Warbutton, 2024).
Bagi para pembenci dan atau pembegal demokrasi, otoritarian kompetitif bukanlah situasi yang ideal. Pasalnya, peluang pembalikan ke arah konsolidasi demokrasi masih terbuka.
Pemilihan langsung (pilpres ataupun kepala daerah) membuka pintu bagi hadirnya figur alternatif yang bisa menjadi lokomotif baru demokratisasi Indonesia. Oleh karena itu, mereka berkepentingan untuk melucuti setiap instrumen yang memungkinkan pemulihan demokrasi.
Pembelaan terhadap pilkada langsung tidaklah mengabaikan fakta bahwa banyak terjadi kekurangan dan penyimpangan dalam implementasinya. Upaya perbaikan yang sudah dilakukan cenderung setengah hati dan bahkan memperburuknya.
Secara teknis, sekadar untuk menegaskan, setidaknya ada dua ranah besar yang bisa diperbaiki.
Pertama, memangkas sumber pemborosan melalui: (a) penyederhanaan atau penghapusan aktivitas seremonial dan atau yang mendorong mobilisasi massa (contoh: pawai kampanye damai dan kampanye terbuka); (b) memperdalam digitalisasi pada tiap tahapan pemilu; (c) reformasi pendanaan kampanye untuk mencegah pembiayaan dari sumber tidak jelas dan sekaligus membatasi dana kampanye.
Kedua, membendung politik uang. Di sisi sumber dan distribusi, polisi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) punya perangkat dan kompetensi untuk menangkalnya.
Problemnya pada kemauan politik dan juga adanya benturan kepentingan. Terkait dengan ini, hukuman terhadap pemberi dan penerima diperberat, termasuk mendiskualifikasi pasangan calon dan menghapus hak pilih penerima pada pilkada tahun berjalan.
Pada tataran kelembagaan, setidaknya ada tiga agenda pembaruan yang perlu dikedepankan untuk menghadirkan efisiensi dalam pengertian politik.
Oleh karena itu, mereka berkepentingan untuk melucuti setiap instrumen yang memungkinkan pemulihan demokrasi
Pertama, perbaikan desain otonomi daerah, termasuk aspek keuangan daerah dan relasi antardaerah.
Terkait dengan ini, kedua, pengaturan penggunaan anggaran daerah pada setahun sebelum dan sesudah pemilu agar tak disalahgunakan petahana untuk menggelontorkan praktik patron-klien melalui program bertipe pork barrel, program yang diada-adakan untuk pendukungnya atau pengusaha yang mau membiayai kampanyenya.
Ketiga, seperti sudah sering disampaikan pengamat dan akademisi, perlu ada pembahasan kembali mengenai desain pemilu secara keseluruhan. Pemisahan pemilihan nasional (DPR dan presiden) dan pemilihan daerah (kepala daerah dan DPRD) kiranya pantas didiskusikan kembali.
Akhirnya, revitalisasi politik di level parpol maupun pemilih. Yang disebut pertama berkaitan dengan demokratisasi internal, termasuk mengartikulasi aspirasi konstituen dalam menyeleksi kandidat. Yang disebut belakangan membangun budaya sumbangan dana kampanye dari pemilih. Saat ini, kedua hal itu, jika pun ada, sekadar formalitas dan atau untuk kebutuhan pencitraan belaka.
Situasi ideal demokrasi terjadi manakala representasi, kebebasan pilihan, dan akuntabilitas hadir secara utuh.
Pada titik ini, pemilihan langsung saja tidak cukup. Yang seharusnya jadi agenda adalah memperdalam demokrasi langsung.
Itu artinya juga menerapkan instrumen lain, seperti referendum dan konsultasi publik deliberatif. Merupakan ironi jika argumen efisiensi jadi tameng untuk mengeliminasinya dan merupakan tragedi jika kita justru melangkah ke arah sebaliknya: melucuti demokrasi.
Yunarto Wijaya Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia
Sumber: https://bit.ly/4gV8ovE (Kompas.id)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!